Wednesday, April 21, 2010

butakah cinta

Cinta berpijak pada perasaan sekaligus akal sehat. Miskonsepsi pertama yang
ditentang Bowman adalah manusia jatuh cinta dengan menggunakan perasaan
belaka. Betul, kita jatuh cinta dengan hati. Tapi agar tidak menimbulkan
kekacauan di kemudian hari, kita diharapkan untuk juga menggunakan akal
sehat.
Bohong besar kalau kita bisa jatuh cinta dengan begitu saja tanpa bisa
mengelak. Yang sesungguhnya terjadi, proses jatuh cinta dipengaruhi
tradisi, kebiasaan, standar, gagasan, dan deal kelompok dari mana kita
berasal.
Bohong besar pula kalau kita merasa boleh berbuat apa saja saat jatuh
cinta, dan tidak bisa dimintai pertanggungjawaban bila perbuatan-perbuatan
impulsif itu berakibat buruk suatu ketika nanti.
Kehilangan perspektif bukanlah pertanda kita jatuh cinta, melainkan sinyal
kebodohan. Cinta membutuhkan proses, Bowman juga menolak anggapan cinta
bisa berasal dari pandangan pertama. “Cinta itu tumbuh dan berkembang dan
merupakan emosi yang kompleks,” katanya.
Untuk tumbuh dan berkembang, cinta membutuhkan waktu. Jadi memang tidak
mungkin kita mencintai seseorang yang tidak ketahuan asal-usulnya dengan
begitu saja.
Cinta tidak pernah menyerang tiba-tiba, tidak juga jatuh dari langit.
Cinta datang hanya ketika dua individu telah berhasil melakukan orientasi
ulang terhadap hidup dan memutuskan untuk memilih orang lain sebagai
titik fokus baru. Yang mungkin terjadi dalam fenomena “cinta pada
pandangan pertama” adalah pasangan terserang perasaan saling tertarik yang
sangat kuat bahkan sampai tergila-gila. Kemudian perasaan kompulsif itu
berkembang jadi cinta tanpa menempuh masa jeda. Dalam kasus “cinta pada
pandangan pertama”, banyak orang tidak benar-benar mencintai pasangannya,
melainkan jatuh cinta pada konsep cinta itu sendiri. Sebaliknya dengan
orang yang benar-benar mencinta, mereka mencintai pasangan sebagai
persolinatas yang utuh.
Cinta tidak menguasai dan mengalah, tapi berbagi. Bukan cinta namanya bila
kita berkehendak mengontrol pasangan. Juga bukan cinta bila kita bersedia
mengalah demi kepuasan kekasih. Orang yang mencinta tidak menganggap
kekasih sebagai atasan atau bawahan, tapi sebagai pasangan untuk berbagi,
juga untuk mengidentifikasi diri. Bila kita berkeinginan menguasai kekasih
(membatasi pergaulannya, melarangnya beraktivitas positif, mengatur
seleranya berbusana, selalu mengkritik semua kekurangannya) atau melulu
mengalah (tidak protes bila kekasih berbuat buruk, tidak keberatan
dinomorsekiankan), berarti kita belum siap memberi dan menerima cinta.
Cinta itu konstruktif.
Individu yang mencinta berbuat sebaik-baiknya demi kepentingan sendiri
sekaligus demi (kebanggaan) pasangan. Dia berani berambisi, bermimpi
konstruktif, dan merencanakan masa depan. Sebaliknya dengan yang jatuh
cinta impulsif. Bukannya berpikir dan bertindak konstruktif, dia kehilangan
ambisi, nafsu makan, dan minat terhadap masalah sehari-hari. Yang
dipikirkan hanya kesengsaraan pribadi. Impiannya pun tak mungkin tercapai.
Bahkan impian itu bisa menjadi subsitusi kenyataan.
Cinta tidak melenyapkan semua masalah Penganut faham romantik percaya cinta
bisa mengatasi masalah. Seakan-akan cinta itu obat bagi segala penyakit
(panacea). Kemiskinan dan banyak problem lain diyakini bisa diatasi dengan
berbekal cinta belaka. Faktanya, cinta tidaklah seajaib itu. Cinta hanya
bisa membuat sepasang kekasih berani menghadapi masalah. Permasalahan
seberat apapun mungkin didekati dengan jernih agar bisa dicarikan jalan
keluar. Orang yang tengah mabuk kepayang-berarti tidak benar-benar
mencinta-cenderung membutakan mata saat tercegat masalah. Alih-alih
bertindak dengan akal sehat, dia mengenyampingkan problem.
Cinta cenderung konstan
Ya, cinta itu bergerak konstan. Maka kita patut curiga bila grafik perasaan
kita pada kekasih turun naik sangat tajam. Kalau saat jauh kita merasa
kekasih lebih hebat dibanding saat bersama, itu pertanda kita
mengidealisasikannya, bukan melihatnya secara realistis. Lantas saat
kembali bersama, kita memandang kekasih dengan lebih kritis dan hilanglah
segala bayangan hebat itu. Sebaliknya berhati-hatilah bila kita merasa
kekasih hebat saat kita berdekatan dengannya dan tidak lagi merasakan hal
yang sama saat dia jauh. Hal sedemikian menandakan kita terkecoh oleh daya
tarik fisik.
Cinta terhitung sehat bila saat dekat dan jauh dari pasangan, kita
menyukainya dalam kadar sebanding.
Cinta tidak bertumpu pada daya tarik fisik
Dalam hubungan cinta, daya tarik fisik memang penting. Tapi bahaya bila
kita menyukai kekasih hanya sebatas fisik dan membencinya untuk banyak
faktor lainnya. Saat jatuh cinta, kita menikmati dan memberi makna penting
bagi setiap kontak fisik. Kontak fisik, ketahuilah, hanya terasa
menyenangkan bila kita dan pasangan saling menyukai personalitas
masing-masing. Maka bukan cinta namanya, melainkan nafsu, bila kita
menganggap kontak fisik hanya memberi sensasi menyenangkan tanpa makna
apa-apa. Dalam cinta, afeksi terwujud belakangan saat hubungan kian dalam.
Sedang nafsu menuntut pemuasan fisik sedari permulaan.
Cinta tidak buta, tapi menerima
Cinta itu buta? Tidak sama sekali. Orang yang mencinta melihat dan
menyadari sisi buruk kekasih. Karena besarnya cinta, dia berusaha menerima
dan mentolerir. Tentu ada keinginan agar sisi buruk itu membaik. Namun
keinginan itu haruslah didasari perhatian dan maksud baik. Tidak boleh ada
kritik kasar, penolakan, kegeraman, atau rasa jijik. Nafsulah yang buta.
Meski pasangan sangat buruk, orang yang menjalin hubungan dengan penuh
nafsu menerima tanpa keinginan memperbaiki. Juga meninggalkan pasangan saat
keinginannya terpuaskan, hanya karena pasangan punya secuil keburukan yang
sangat mungkin diperbaiki.
jadi ingat penggalan lagunya UK’s penyenyi Malaysia…Jika benar cinta itu buta??buta kah hatiku..berkali terluka masih juga kumenunggu
hanya satu pintaku ketulusan hati dan kesetiaanmu…
penggalan tadi bukan jeritan hati lho….hehe
Lanjut…Cinta memperhatikan kelanjutan hubungan
Orang yang benar-benar mencinta memperhatikan perkembangan hubungan dengan
kekasih. Dia menghindari segala hal yang mungkin merusak hubungan. Sebisa
mungkin dia melakukan tindakan yang bisa memperkuat, mempertahankan, dan
memajukan hubungan. Orang yang sedang tergila-gila mungkin saja berusaha
keras menyenangkan kekasih. Namun usaha itu semata-mata dilakukan agar
kekasih menerimanya, sehingga tercapailah kepuasan yang diincar. Orang yang
mencinta menyenangkan pasangan untuk memperkuat hubungan.
Cinta berani melakukan hal menyakitkan
Selain berusaha menyenangkan kekasih, orang yang sungguh-sungguh mencinta
memiliki perhatian, keprihatinan, pengertian, dan keberanian untuk
melakukan hal yang tidak disukai kekasih demi kebaikan. Seperti seorang ibu
yang berkata “tidak” saat anaknya meminta es krim, padahal sedang flu.